Al-Andalus
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.
Al-Andalus (Arab: الأندلس al-andalus) adalah nama dari bagian Semenanjung Iberia (SpanyolPortugal) yang diperintah oleh orang Islam, atau orang Moor, dalam berbagai waktu antara tahun 711 dan 1492.[1] Al-Andalus juga sering disebut Andalusia, namun penggunaan ini memiliki keambiguan dengan wilayah administratif di Spanyol modern Andalusia. dan
Masa kekuasaan Islam di Iberia dimulai sejak Pertempuran Guadalete, dimana pasukan Umayyah pimpinan Tariq bin Ziyad mengalahkan orang-orang Visigoth yang menguasai Iberia. Awalnya Al-Andalus merupakan provinsi dari Kekhalifahan Umayyah (711-750), lalu berubah menjadi sebuah keamiran (c. 750-929), sebuah kekhalifahan, (929-1031), dan akhirnya "taifa" yaitu kerajaan-kerajaan kecil pecahan dari kekhalifahan tersebut (1031-1492).
Karena pada akhirnya orang-orang Kristen berhasil merebut Iberia dari tangan umat Islam (Reconquista), nama Al-Andalus umumnya tidak merujuk kepada Iberia secara umum, tapi kepada daerah-daerah yang dikuasai para Muslim pada zaman dahulu. Pada 1236, benteng terakhir umat Islam di Spanyol, Granada menyatakan tunduk kepada Ferdinand III dari Kastilia, dan menjadi negara bawahan Kastilia, hingga pada 1492 Muhammad XII menyerah sepenuhnnya kepada Los Reyes Católicos (Kerajaan Katolik Spanyol) pimpinan Raja FerdinandRatu Isabella. Sedangkan kekuasaan Islam di Portugal berakhir pada 1249 dengan ditaklukkannya Algarve oleh Afonso III. Kekalahan penguasa Muslim kemudian diikuti oleh penganiyaan dan pengusiran terhadap kaum Muslim dan Yahudi di Spanyol.[2] dan
Daftar isi |
Asal kata "Al-Andalus"
Etimologi dari nama Al-Andalus belum diketahui secara pasti. Nama ini digunakan untuk merujuk kepada semenanjung Iberia atau daerah Selatan Iberia yang dikuasai umat Islam, dan bukti paling awal dari nama ini adalah pada koin yang dicetak oleh pemerintah Islam di Iberia sekitar 715 (tahun pencetakan juga tidak pasti karena koin dituliskan dalam Latin dan Arab, dan keduanya memberikan tahun yang berbeda).[3] Terdapat setidaknya tiga teori etimologi yang pernah diusulkan oleh para ilmuwan Barat, semuanya menganggap bahwa nama ini berasal dari zaman kekuasaan Romawi di Semenanjung Iberia.
Teori pertama adalah nama tersebut berasal dari Vandal, suku Jerman yang menguasai sebagian Iberia selama 407-429. Salah satu ilmuwan yang menerima teori ini adalah Reinhart P. Dozy, sejarawan abad ke-19.[4] Teori kedua adalah berasal dari Arabisasi kata "Atlantik". Pendukung teori ini adalah sejarawan Spanyol Vallvé.[5] Teori ketiga yang diajukan oleh Halm (1989)[6] adalah bahwa nama ini berawal dari nama yang diberikan suku Visigoth yang berkuasa di Iberia pada abad ke-5 hingga 9. Dalam bahasa Latin, Iberia Visigoth disebut Gothica Sors (tanah undian Goth). Halm memprediksikan bahwa dalam bahasa Gothic "tanah undian" mungkin disebut *landahlauts, dan ia menyarankan dari sinilah asal nama Al-Andalus berasal.
Ketiga teori ini semuanya tidak memiliki bukti historis, sehingga dapat dikatakan amat lemah. Pelopor dan pembela dari ketiga teori ini semuanya adalah sejarawan. Namun belakangan, ahli bahasa telah diikutsertakan dalam diskusi ini. Argumen-argumen dari ilmu sejarah, linguistik dan toponimi (ilmu yang mempelajari nama daerah), selanjutnya menunjukkan kelemahan semua teori diatas, dan bahwa nama Al-Andalus ternyata berasal dari masa Romawi.[7]
Sejarah
Penaklukan dan masa-masa awal
- Artikel utam
atan sekarang.
Pada awalnya, Al-Andalus dikuasai oleh seorang wali (gubernur) yang ditunjuk oleh Khalifah di Damaskus, dengan masa jabatan biasanya 3 tahun. Namun pada tahun 740an, terjadi perang saudara yang menyebabkan melemahnya kekuasaan Khalifah. Pada 746, Yusuf Al-Fihri memenangkan perang saudara tersebut, menjadi seorang penguasa yang tidak terikat kepada pemerintahan di Damaskus.
Keamiran dan Kekhalifahan Kordoba
halifahan Kordoba c. 1000 pada masa kejayaan Al-Mansur. Pada 750, bani Abbasiyah menjatuhkan pemerintahan Umayyah di Damaskus, dan merebut kekuasaan atas daerah-daerah Arabia. Namun pada 756, pangeran Umayyah di pengasingan Abdurrahman I (Ad-Dakhil) melengserkan Yusuf Al-Fihri, dan menjadi penguasa Kordoba dengan gelar Amir Kordoba. Abdurrahman menolak untuk tunduk kepada kekhalifahan Abbasiyah yang baru terbentuk, karena pasukan Abbasiyah telah membunuh sebagian besar keluarganya. Ia memerintah selama 30 tahun, namun memiliki kekuasaan yang lemah di Al-Andalus dan ia berusaha menekan perlawanan dari pendukung Al-Fihri maupun khalifah Abbasiyah.Selama satu setengah abad berikutnya, keturunannya menggantikannya sebagai Amir Kordoba, yang memiliki kekuasaan tertulis atas seluruh Al-Andalus bahkan kadang-kadang meliputi Afrika Utara bagian barat. Pada kenyataannya, kekuasaan Amir Kordoba, terutama di daerah yang berbatasan dengan kaum Kristen, sering mengalami naik-turun tergantung kecakapan dari sang Amir yang sedang berkuasa. Amir Abdullah bin Muhammad bahkan hanya memiliki kekuasaan atas Kordoba saja.
Cucu Abdullah, Abdurrahman III, menggantikannya pada 912, dan dengan cepat mengembalikan kekuasaan Umayyah atas Al-Andalus dan bahkan Afrika Utara bagian barat. Pada 929 ia mengangkat dirinya sebagai Khalifah, sehingga keamiran ini sekarang memiliki kedudukan setara dengan kekhalifahan Abbasiyah di Baghdad dan kekhalifahan Syi'ah di Tunis.
Periode kekhalifahan ini dianggap oleh para penulis Muslim sebagai masa keemasan Al-Andalus. Hasil panen yang diperoleh melalui irigasi serta bahan makanan yang diimpor dari Timur Tengah mencukupi untuk penduduk Kordoba dan kota-kota lainnya di Al-Andalus, dengan sektor ekonomi pertanian paling maju di Eropa. Kordoba dibawah kekhalifahan ini memiliki populasi sekitar 500.000, mengalahkan Konstantinopel sebagai kota terbesar dalam hal jumlah maupun kemakmuran penduduk di Eropa.[8] Dalam dunia Islam, Kordoba merupakan salah satu pusat budaya yang maju. Karya-karya ilmuwan dan filsuf Al-Andalus, seperti Abul QasimIbnu Rusyd memiliki pengaruh besar terhadap kehidupan intelektual di Eropa zaman pertengahan. dan
Orang-orang Muslim dan non-Muslim sering datang dari luar negeri untuk belajar di berbagai perpustakaan dan universitas terkenal di Al-Andalus. Yang paling terkenal adalah Michael Scot, yang menerjemahkan karya-karya Ibnu Rusyd, Ibnu Sina, dan Al-Bitruji dan membawanya ke Italia. Karya-karya ini kemudian memiliki dampak penting dalam berawalnya Renaisans di Eropa.[9][10]
Periode Taifa pertama
Kekhalifahan Kordoba mengalami kejatuhan dalam peran saudara antara 1009 hingga 1013, dan akhirnya dihapuskan pada 1031. Al-Andalus kini terpecah menjadi banyak kerajaan kecil, yang disebut taifa. Taifa-taifa ini pada umumnya amat lemah sehingga tidak dapat mempertahankan diri menghadapi serangan-serangan dan permintaan upeti dari kerajaan-kerajaan Kristen di daerah utara dan barat, antara lain Kerajaan Navarre, León, Portugal, Kastilia dan Aragon, serta Barcelona. Akhirnya serangan-serangan ini berubah menjadi penaklikan, sehingga taifa-taifa di Al-Andalus memina bantuan dari dinasti Al-Murabitun (Almoravid) yang berhaluan Islam fundamental di Afrika Utara. Orang-orang Murabitun mengalahkan raja Kastilia Alfonso VI, dalam Pertempuran Zallāqah dan Pertempuran Uclés, dan akhirnya menguasai Al-Andalus.
Murabitun, Muwahidun, dan Banu Marin
Pada 1086, pemimipin Murabitun di Maroko Yusuf bin Tasyfin diundang oleh para bangsawan Muslim di Iberia untuk mempertahankan Iberia dari Alfonso VI, raja Kastilia dan León. Pada tahun itu juga Yusuf menyeberangi selat Gibraltar menuju Algeciras, dan mengalahkan kaum Kristen dengan telak dalam pertempuran Zallāqah. Pada 1094, Yusuf bin Tasyfin menghapuskan kekuasaan dari semua penguasa-penguasa kecil Islam di Iberia, dan mengambil alih semua daerah mereka, kecuali Zaragoza. Ia juga merebut Valencia dari tangan umat Kristen. Pada 1147, kekuasaan kaum Murabitun digantikan oleh kaum Muwahidun (Almohad), yang juga berasal dari suku Berber. Penguasa Muwahidun memindahkan ibukota Al-Andalus ke Sevilla1170, dan mengalahkan raja Kastilia Alfonso VIII dalam Pertempuran Alarcos (1195). Namun pada 1212 gabungan Kerajaan Kristen Kastilia, Navarra, Aragon, dan PortugalPertempuran Las Navas de Tolosa, dan memaksa sultan Muwahidun meninggalkan Iberia. Umat Islam di Iberia kembali terpecah dalam taifa-taifa yang lemah, dan dengan cepat ditaklukkan oleh Portugal, Kastilia dan Aragon. Setelah jatuhnya Murcia (1243) dan Algarve (1249), hanya Granada pimpinan Banu Nasri-lah negara Islam yang tersisa, namun hanya sebagai negara bawahan yang membayar upeti kepada Kerajaan Kastilia. Upeti ini berupa emas dari daerah yang sekarang bernama Mali dan Burkina Faso, yang dibawa melalui jalur perdagangan di gurun Sahara. pada mengalahkan kaum Muwahidun pada
Pada abad ke-14, dinasti Islam Banu Marin (Marinid) di Maroko mengalami kemajuan dan mengancam kerajaan-kerajaan Kristen di Iberia. Banu Marin kemudian mengambil alih Granada dan menduduki kota-kotanya, seperti Algeciras. Namun, mereka gagal merebut Tarifa, yang bertahan dari serangan Banu Marin hingga kedatangan Tentara Kastilia pimpinan Raja Alfonso XI. Alfonso XI, dibantu Afonso IV dari Portugal dan Pedro IV dari Aragon, mengalahkan Banu Marin pada Pertempuran Rio Salado (1340) dan merebut Algeciras (1344). Alfonso XI juga mengepung Gibraltar, yang saat itu dikuasai Granada, selama 1349-1350, namun Alfonso XI dan sebagian besar pasukannya dibinasakan oleh wabah Kematian Hitam di tahun 1350.[11]Pedro dari Kastilia (Peter si Kejam), memutuskan berdamai dengan umat Islam dan berperang melawan kerajaan-kerajaan Kristen yang lain.[12] Peristiwa ini menandai dimulainya 150 tahun pemberontakan dan perang saudara umat Kristen di Eropa, yang mengamankan keberadaan Granada. Penggantinya,
Keamiran Granada
kepada kekuasaan Kristen, dan menandai berakhirnya kekuasaan Islam di Iberia.
[sunting] Masyarakat
Masyarakat Al-Andalus terdiri dari tiga kelompok utama berdasarkan agama: Muslim, Kristen, dan Yahudi. Dalam tiap-tiap kota, komunitas-komunitas ini tinggal di daerah yang berbeda. Umat Islam sendiri, walaupun disatukan oleh agama yang sama, kadang terbagi-bagi menurut etnis, terutama perbedaan antara orang Arab dan orang Berber. Orang-orang Arab tinggal di bagian selatan dan di Lembah Ebro di timur laut, sedangkan orang-orang Berber tinggal di daerah pegunungan yang sekarang berada di utara Portugal, dan di Meseta Central. MuzarabMozarab/Musta'rib) adalah orang Kristen yang hidup dalam kekuasaan Islam di Al-Andalus dan mengikuti banyak adat, kesenian, dan kata-kata dari bahasa Arab, namun masih memelihara tradisi dan ibadah Kristen mereka dan bahasa turunan Latin yang mereka miliki, disebut Bahasa Muzarab. (atau
Orang-orang Yahudi biasanya bekerja sebagai pedagang, pemungut pajak, dokter atau duta besar. Pada akhir abad ke-15 terdapat sekitar 50.000 Yahudi di Granada dan 100.000 di seluruh Al-Andalus.[13]
Muslim dan Non-Muslim di Al-Andalus
Perlakuan terhadap non-Muslim
Perlakuan terhadap non-Muslim di Al-Andalus merupakan bahan diskusi dan perdebatan di antara para ahli dan para pengamat, terutama mereka yang tertarik dengan keberadaan bersama umat Muslim dan non-Muslim di dunia modern. Kaum non-muslim di Al-Andalus, seperti Kristen dan Yahudi, dalam hukum Islam merupakan dzimmi, yang bebas menjalankan ajaran agamanya, tidak didorong untuk masuk Islam, namun membayar pajak yang disebut jizyah.[14] Para ahli berpendapat bahwa agama minoritas (termasuk Yahudi) di Al-Andalus yang dikuasai umat Islam diperlakukan jauh lebih baik daripada di daerah Eropa Barat yang dikuasai Kristen, dan mereka hidup dalam "masa keemasan" toleransi, saling menghormati dan keharmonisan antarumat beragama.
Al-Andalus merupakan pusat kunci peradaban Yahudi pada Abad Pertengahan, dan menghasilkan ilmuwan-ilmuwan ternama, seperti Maimonides, rabbi, filsuf, dan dokter yang menjadi ikon masa keemasan Yahudi di Al-Andalus. Masyarakat Yahudi di Al-Andalus juga merupakan salah satu masyarakat Yahudi yang paling stabil dan paling makmur. Sedangkan umat Kristen di Al-Andalus disebut kaum Muzarab. Kaum Muzarab merupakan keturunan orang Kristen terdahulu di Spanyol yang tetap memeluk Kristen namun mengadopsi budaya Arab.[14] Dalam bukunya The Ornament of the World (2003), Menocal berpendapat bahwa sebagai dzimmi, agama minoritas di Al-Andalus diberikan hak yang lebih terbatas daripada umat Muslim, namun masih lebih baik daripada di daerah Eropa yang dikuasai Kristen. Orang-orang Yahudi dan sekte-sekte Kristen yang dianggap terlarang datang dari seluruh Eropa ke Al-Andalus, dimana mereka menerima toleransi.
Bernard Lewis memiliki pandangan yang berbeda, dan berpendapat bahwa "klaim toleransi yang sekarang banyak didengar dari apologis Muslim, dan khususnya apologis untuk Islam, merupakan hal baru dan tidak diketahui asal-usulnya."[15] Lewis menolak bahwa Muslim dan non-Muslim diberikan perlakuan sama di masa lalu. Ia juga mengatakan "bagaimana mungkin orang yang memeluk agama yang benar dan orang yang menolaknya dipelakukan sama? Ini merupakan hal yang mustahil secara teologi maupun logika"[15]
Naik turunnya kekuasaan Islam
Penguasa Al-Andalus memperlakukan non-Muslim berbeda-beda sepanjang waktu. Salah satu periode toleransi adalah masa kekuasaan Abdurrahman III dan Al-Hakam II dimana Yahudi Al-Andalus mengalami kemakmuran, mencurahkan hidupnya untuk melayani Kekhalifahan Kordoba, mempelajari sains, perdagangan, dan industri, terutama perdagangan sutera dan budak, yang ikut memakmurkan negeri Al-Andalus. Al-Andalus menjadi suaka bagi kaum Yahudi yang teraniaya di negeri-negeri lain.
Orang-orang Kristen di Al-Andalus, dipicu oleh contoh dari umat Kristen lain di sepanjang perbatasan Al-Andalus kadang kala menegaskan klaim-klaim Agama Kristen, dan dengan sengaja mencari kemartiran, bahkan selama masa-masa toleransi. Misalnya, 48 orang Kristen Kordoba melakukan penghinaan terhadap agama Islam, dan akhirnya dipenggal. Mereka sengaja melakukan tersebut agar mati sebagai martir, dan mereka dikenal sebagai Martir Kordoba. Beberapa orang dari generasi berikutnya-pun meneruskan hal ini, dan mereka sepenuhnya tahu apa nasib yang menimpa pendahulu mereka.[16]
Setelah kematian Al-Hakam pada 976, situasi mulai memburuk bagi non-Muslim pada umumnya. Hampir 100 tahun berikutnya, pada 30 Desember 1066, peristiwa penganiayaan pertama terjadi dimana kaum Yahudi diusir dan ratusan kelarga dibunuh karena tidak mau meninggalkan Granada, dan kerusuhan setelahnya menewaskan sekitar 3.000 orang.[17]Murabitun dan Muwahidun,[18][19] Penganiayaan terhadap Yahudi juga terjadi sesekali pada masa tapi sumber yang ada amat sedikit dan tidak memberikan gambaran yang jelas mengenai hal ini.
Saat terjadi kekerasan terhadap non-Muslim, banyak ilmuwan Yahudi dan bahkan Muslim yang meninggalkan daerah kekuasaan Muslim menuju Toledo, yang lebih memiliki toleransi dan telah dikuasai oleh pasukan Kristen. Sekitar 40,000 Yahudi bergabung dengan pasukan Kristen, dan sisanya bergabung dengan pasukan Murabitun menghadapi raja Alfonso VI dari Kastilia.
Penguasa Muwahidun yang mengambil alih kekuasaan Murabitun pada 1147,[20] lebih fundamentalis dari Murabitun, dan memperlakukan non-Muslim dengan keras. Takut akan kematian atau paksaan pindah agama, banyak orang Yahudi yang pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran di Selatan dan Timur,[21] atau ke daerah Kristen di Utara.[22][23] Keluarga Maimonides sendiri pindah ke daerah Muslim yang lebih toleran. Namun, penguasa Muwahidun juga mendorong perkembangan seni dan tulisan, menghasilkan diantaranya Ibnu Tufail, Ibnu Araby, dan Ibnu Rusyd.[20]
[sunting] Kebudayaan
C.W. Previte-Orton menulis dalam Cambridge Medieval History, menulis [24]
“ | "Peradaban Saracen yang brilian di Spanyol Islam membuat orang-orang Moor, bahkan dalam kemudurannya dibawah Reyes de Taifas, sebagai orang-orang paling beradab di Barat." | ” |
Banyak suku, agama, dan ras hidup bersama-sama di Al-Andalus, dan masing-masing menyumbang terhadap kemajuan intelektual di Andalus. Buku-buku jauh lebih tersebar luas di Al-Andalus dibanding di negara lainnya di Barat.[25] Sejarah intelektual Al-Andalus terlihat dari hasilnya berupa banyaknya ilmuwan Islam dan Yahudi.
Kemajuan intelektual Al-Andalus bermula dari perseturuan intelektual antara Bani UmayyahBani Abbasiyah yang berkuasa di Timur Tengah. Penguasa Umayyah berusaha memperbanyak perpustakaan dan lembaga pendidikan di kota-kota Al-Andalus seperti Kordoba, untuk mengalahkan ibukota Abbasiyah Baghdad. Walaupun Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah saling bersaing, kedua kekhalifahan ini mengizinkan perjalanan antara kedua kekhalifahan ini dengan bebas, yang membantu penyebaran dan pertukaran ide serta inovasi dari waktu ke waktu. yang menguasai Al-Andalus, dengan
Pada abad ke-10, kota Kordoba memiliki 700 masjid, 60.000 istana, dan 70 perpustakaan, dan salah satu perpustakaan yang terbesar memiliki hingga 500.000 naskah.[26][27] Sebagai perbandingan, perpustakaan terbesar di Eropa Kristen saat itu memiliki tak lebih dari 400 naskah, bahkan pada abad ke-14 Universitas Paris baru memiliki sekitar 2.000 buku.[26]risalah, puisi, polemikantologi.[26] Sebagai perbandingan, Spanyol modern menerbitkan rata-rata 46.300 buku tiap tahunnya, menurut UNESCO.[28] Perpustakaan, penyalin, penjual buku, pembuat kertas, dan sekolah-sekolah di seluruh Al-Andalus menerbitkan sebanyak 60.000 buku tiap tahunnya, termasuk dan
[sunting] Filosofi
[sunting] Filosofi Islam Andalus
Sejarawan Said Al-Andalusi menulis bahwa Khalifah Abdurrahman III (912-961) mengumpulkan sejumlah besar buku dan memberikan perlindungan bagi para ilmuwan yang mempelajari kedokteran dan "ilmu-ilmu kuno". Penggantinya Khalifah Al-Hakam IIAl-Mustansir), membangun sebuah universitas dan sejumlah perpustakaan di Kordoba. Kordoba menjadi salah satu pusat pembelajaran kedokteran dan filosofi terkemuka di dunia. (
Namun ketika anak Al-Hakam II Hisyam II naik takhta (976), kekuasaan yang sebenarnya berada di tangan Al-Mansur bin Abi Amir.[29] Ia merupakan tokoh agama yang tidak menyukai ilmu pengetahuan, sehingga banyak buku yang dikumpulkan dengan susah payah oleh Al-Hakam II dibakar di depan umum. Setelah kematian Al-Mansur pada 1002, filosofi di Al-Andalus bangkit kembali. Sejumlah cendikiawan terkenal bermunculan, termasuk Maslamah Al-Majriti (?-1008), seorang petualang berani yang menjelajahi daerah-daerah Islam dan daerah lain, dan tergabung dalam organisasi Ikhwan As-Shafa. Al-Majriti membantu penerjemahan karya Ptolemeus Almagest, membuat dan memperbaiki berbagai tabel astronomi, dan mempelopori geodesi serta triangulasi.[30]
Murid Al-Majriti yang terkenal adalah Abu Hakam Al-Kirmani,[31] yang kemudian menjadi guru bagi filsuf dan dokter terkemuka Ibnu Bajjah (Avempace)
[sunting] Filosofi dan kebudayaan Yahudi
Dengan adanya toleransi terhadap Yahudi di Al-Andalus, dan mundurnya pusat kebudayaan Yahudi di Babilonia, Al-Andalus menjadi pusat pemikiran-pemikiran intelektual Yahudi. Penulis-penulis seperti Judah Halevi (1086-1145) dan Dunash ben Labrat (920-990) memiliki sumbangan terhadap kehidupan Al-Andalus, dan lebih penting lagi memberikan sumbangan bagi perkembangan filosofi Yahudi. Puncak dari filsafat Yahudi adalah pemikir Yahudi asal Al-Andalus Maimonides (1135-1205), yang menerbitkan karya-karyanya di Maroko dan Mesir, karena menghindari dinasti Muwahidun yang berkuasa dengan keras di Al-Andalus. Ia mengarang buku Panduan bagi yang Bingung, dan memperbaharui hukum Yahudi, sehingga dijuluki "Musa baru" (nama depan Maimonides sendiri adalah Moses/Musa).[14]
[sunting] Kedokteran
Dokter dan tabib dari Al-Andalus memiliki sumbangan yang penting bagi bidang kedokteran, termasuk anatomi dan fisiologi. Diantaranya adalah Abul Qasim (Abulcasis), "bapak ilmu bedah modern",[32] yang menuliskan Kitab at-Tashrif, buku penting dalam kedokteran dan ilmu bedah. At-Tashrif merupakan ensiklopedia yang terdiri dari 30 volume, yang kemudian diterjemahkan ke Bahasa Latin dan digunakan dalam sekolah kedokteran di kebudayaan Eropa maupun Islam selama berabad-abad.
[sunting] Daftar pustaka
- (en)Al-Djazairi, S.E. (2005). The Hidden Debt to Islamic Civilisation. Bayt Al-Hikma Press. ISBN 0-9551156-1-2
- (de)Bossong, Georg. 2002. Der Name Al-Andalus: Neue Überlegungen zu einem alten Problem. In David Restle and Dietmar Zaefferer, eds, Sounds and systems: studies in structure and change. A festschrift for Theo Vennemann. Berlin: Mouton de Gruyter. pp. 149-164. [edisi online.
- (en)Cohen, Mark (1995). Under Crescent and Cross: The Jews in the Middle AgesISBN 0-691-01082-X Princeton University Press.
- (en)Collins, Roger (1989). The Arab Conquest of Spain, 710–797, Blackwell. ISBN 0-631-19405-3
- (en)Frank, Daniel H. and Leaman, Oliver (2003). The Cambridge Companion to Medieval Jewish Philosophy. Cambridge University Press. ISBN 0-521-65574-9
- (de)Halm, Heinz. 1989. Al-Andalus und Gothica Sors. Der Islam 66:252-263.
- (en)Hamilton, Michelle M., Sarah J. Portnoy, and David A. Wacks, eds. Wine, Women, and Song: Hebrew and Arabic Literature in Medieval Iberia. Newark, Del.: Juan de la Cuesta Hispanic Monographs, 2004.
- (en)Harzig, Christiane, Hoerder, Dirk and Shubert, Adrian (2003). The Historical Practice in Diversity. Berghahn Books. ISBN 1-57181-377-2
- (en)Kennedy, Hugh (1996).Muslim Spain and Portugal: A Political History of al-Andalus, Longman. ISBN 0-582-49515-6
- (en)Kraemer, Joel (Jul, 1997). Comparing Crescent and Cross. The Journal of Religion, 77(3), pp. 449-454. (Book review)
- (en)Kraemer, Joel (2005). Moses Maimonides: An Intellectual Portrait. In Kenneth Seeskin (Ed.). The Cambridge Companion to Maimonides. Cambridge University Press. ISBN 0-521-81974-1
- (es)(ar)Lafuente y Alcántara, Emilio, penerjemah. 1867. Ajbar Machmua (colección de tradiciones): crónica anónima del siglo XI / dada a luz por primera vez, traducida y anotada por Emilio Lafuente y Alcántara. Madrid: Real Academia de la Historia y Geografía. edisi online
- (en)Luscombe, David et al. (Eds.). (2004). The New Cambridge Medieval History: Volume 4, c.1024-c.1198, Part 1. Cambridge University Press. ISBN 0-521-41411-3
- (en)Marín, Manuela et al. (Eds.). (1998). The Formation of Al-Andalus: History and Society. Ashgate. ISBN 0-86078-708-7
- (en)Menocal, Maria Rosa (2002). Ornament of the World: How Muslims, Jews, and Christians Created a Culture of Tolerance in Medieval Spain. Back Bay Books. ISBN 0-316-16871-8
- (en)Monroe, James T. Hispano-Arabic Poetry: A Student Anthology. Berkeley: University of California Press, 1974.
- (en)Netanyahu, Benzion (1995). The Origins Of The Inquisition In Fifteenth Century Spain. Random House, Inc. ISBN 0-679-41065-1
- (en)O'Callaghan, Joseph F. (1975). A History of Medieval Spain. Cornell University Press. ISBN 0-8014-9264-5
- (en)Reilly, Bernard F. (1993). The Medieval Spains. Cambridge University Press. ISBN 0-521-39741-3
- Roth, Norman (1994). Jews, Visigoths and Muslims in Medieval Spain: Cooperation and Conflict. Brill. ISBN 90-04-06131-2
- (es)Sanchez-Albornoz, Claudio (1974) El Islam de España y el Occidente. Madrid.
- (en)Stavans, Ilan (2003). The Scroll and the Cross: 1,000 Years of Jewish-Hispanic Literature. London: Routledge. ISBN 0-415-92930-X
- (en)Wasserstein, David J. (1995). Jewish élites in Al-Andalus. In Daniel Frank (Ed.). The Jews of Medieval Islam: Community, Society and Identity. Brill. ISBN 90-04-10404-6
0 komentar:
Posting Komentar